Anomali Sepak Bola terhadap Kesehatan Mental

Sepak bola tidak lagi bisa dipandang sebuah olah raga semata. Bahkan tak lagi sekadar permainan juga pertandingan. Sepak bola punya anomali tersendiri bagi kesehatan mental.

Gary Speed, misalnya. Sepanjang karier sepak bolanya, Speed banyak dihabiskan di rumput Liga Inggris. Kurun 1988 hingga 2010 Speed sudah bermain lebih dari 600 pertandingan dan mencetak 103 gol dengan 5 tim berbeda. Tetapi khusus di Newcastle United, nama Speed begitu moncer.

Jurnalis Goal, Wayne Veysey, menyematkan Speed pemain serba bisa. Dalam tulisannya, ia menilai Speed mampu bermain di 9 posisi berbeda, kecuali kiper.

Selain itu Veysey juga menilai Speed sebagai pemain yang memiliki kebugaran luar biasa. Penilaian itu tak salah bila melihat sepak terjang Speed sebagai pemain pertama Liga Inggris yang pernah bermain sebanyak 500 caps.

Selepas gantung sepatu, Speedo, julukan Gary Speed, dipercaya menukangi Tim Nasional Wales, tepatnya pada awal 2011.

Meski hanya dalam hitungan bulan catatan Speed bersama Wales tidak bisa dikatakan buruk. Ia berhasil mengangkat posisi Wales dari peringkat 117 FIFA menjadi 45. Bahkan, atas prestasi tersebut FIFA menganugerahi gelar “Best Movers” bagi Wales.

Penghujung 2011 Speed resmi tak lagi melatih Wales. Tak begitu pasti alasannya. Namun yang mengejutkan adalah tak lama ia melepaskan jabatannya itu, ia justru bunuh diri. Tepatnya pada 27 November 2019.

Pria kelahiran 1989 itu ditemukan tewas di kamarnya dengan kabel melilit dan menggantung di lehernya.

Semakin mengejutkan pihak kepolisian sama sekali tak menemukan motif apapun dalam peristiwa tersebut. Tetapi ada yang menduga kalau Speed punya persoalan kesehatan mental.

Dilansir The Guardian, Speed semasa remaja pernah mengalami pelecehan seksual oleh mantan pelatih sepak bolanya, Barry Bennell. Bahkan Speed adalah salah satu dari empat yang terdampak langsung akibat ke-predator-an Bennell.

Dan baru pada tahun lalu Bennell dijatuhi hukuman 30 tahun penjara akibat perlakuannya tersebut. Mengutip Birmingham Mail, Bennell sudah melakukan hal serupa kepada puluhan anak didiknya.

Namun, Gary Speed adalah pengecualian. Berbeda halnya yang dialami Per Mertesacker, salah satu penggawa tim nasional Jerman pada Piala Dunia 2006.

Di usia semuda Per Mertesacker, 21, ikut andil di Piala Dunia 2006 bersama skuat Tim Nasional Jerman adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Terlebih, pesta sepak bola sejagat itu digelar di tanah kelahirannya sendiri.

Mertesacker ketika itu adalah bagian dalam generasi Sommermaerchen, atau sekumpulan pemain muda Jerman yang pertama kali merumput di pesta olahraga megah itu–kemudian istilah Sommermaerchen difilmkan dengan judul Deutschland: Ein Sommermaerchen (Jerman: Sebuah Dongeng Musim Panas) yang menceritakan berceritakan perjalanan Timnas Jerman dan suka cita masyarakat Jerman menyambut Piala Dunia.

Hanya saja, kebahagiaan Mertesacker, juga masyarakat Jerman, berakhir tanpa klimaks. Kita tahu, kiprah Die Mannschaft, pada ajang itu, hanya mampu sampai ke babak semi final. Anak asuh Juergen Klinsmann tersungkur di tangan Italia–yang kemudian menjadi kampiun Piala Dunia 2006 usai mengalahkan Prancis di final.

Wartawan olah raga senior yang meliput langsung salah satu peristiwa bersejarah itu mengatakan, kepada penulis, suasana di stadion Westfalenstadion bak pemakaman: hanya ada sepi, hening, dan air mata.

Namun suasana dan apa yang dirasakan para pendukung Timnas Jerman rupanya berbeda dengan perasaan Mertesacker.

Selepas gol Alessandro del Piero pada menit 120–sekaligus memastikan kekalahan Jerman–pemain kelahiran Hanover itu justru merasa lega.

“Selesai. Sudah selesai. Akhirnya selesai juga,” pikirnya. “Aku memang kecewa (dengan hasil pertandingan). Namun rasa lega lebih mendominasi dari kekecawaanku itu,” katanya, dalam wawancara dengan Der Spiegel seperti dilansir Deutsche Welle.

Mertesacker punya alasan tersendiri. Ia mengaku merasa tertekan dalam dunia sepak bola. Sebab, sepak bola profesional begitu brutal terhadap para pemain. Tekanannya begitu besar, dimulai dari porsi latihan, pertandingan itu sendiri yang berlangsung selama berbulan-bulan dan secara simultan, hingga kritik serta cacian.

Akibat itu, Mertesacker merasa tak lagi dipandang sebagai manusia, namun sekadar pemain sepakbola. Maka lebih dari itu, pemain sepak bola, menurut Mertesacker, adalah aset. Dan bagi masyarakat Jerman umumnya, dan fan sepak bola Jerman khususnya, mereka memiliki ‘hak’ atas seorang pemain bola.

Saking tertekannya, dikatakan Mertesacker, saban sesaat sebelum melakoni laga ia selalu tegang bahkan mual. Secara sederhana Mertesacker tertekan secara mental.

“Perutku bergolak dan aku ingin muntah,” jelasnya.

Bila Merteascker begitu tertekan karena sepak bola, di sisi lain, sepak bola itu sendiri punya daya magis untuk menyelamatkan seseorang dari tindakan bunuh diri. Anomali memang. Tetapi itu lah yang ditemukan oleh lembagai riset dari Yunani, Petridou dan Papadapoulus.

Lembaga riset Petridou dan Papadapoulus, menemukan fakta bahwa sepanjang pergelaran akbar turnamen sepak bola, baik Piala Eropa maupun Piala Dunia berhasil menekan angka kematian akibat bunuh diri. Semakin unik, efek turnamen sepak bola untuk menekan angka bunuh diri justru ditemukan di Jerman.

Di sana, pada bulan Maret hingga Juni, angka kematian dengan cara bunuh diri cukup signifkan. Setidaknya ada 90 ribu orang yang tercatat dalam kurun waktu waktu enam tahun saja.

Tetapi angka itu justru menurun ketika turnamen Piala Eropa dan Piala Dunia diselenggarakan pada periode Juni-Juli. Paling signifikan terlihat pada 1996, ketika Jerman menjadi juara Piala Eropa 1996.

Namun, sayangnya, penelitian kelanjutan tersebut belum bisa penulis temukan. Misalnya, apakah angka bunuh diri tetap berlanjut tinggi ketika tak ada bulan-bulan sepak bola? Dan apakah fenomena itu masih berlangsung hingga kini?

Tetapi, di luar itu semua, yang perlu kita ketahui adalah sepak bola bukan lagi sekadar sepak bola, permainan, atau juga pertandingan. Apalagi sekadar olah raga. Sepak bola (modern) sudah menjadi entitas tersendiri dalam kehidupan individu-individu masyarakat, di belahan Eropa khususnya.

Sumber: Panditfootball, The Guardian, Soccernomics

Leave a comment