7 Rekomendasi untuk Tampuk Penguasa Kursi PSSI

Terpilihnya Iwan memunculkan banyak keraguan atas kemampuannya memimpin induk sepak bola Tanah Air itu. Namun bukan kepercayaan publik bukan tidak ada sama sekali. Asalkan, ia bisa menyelesaikan beberapa ‘piring kotor’ dalam dapur PSSI.

Pekerjaan rumah pertama adalah, Iwan harus membuktikan bahwa tudingan terhadap dirinya, yang disebut melakukan praktik kotor, tidak benar.

Tiga hari jelang kongres, Iwan dituding melakukan negosiasi dengan kartel untuk memenangkannya sebagai Ketum PSSI. Tudingan ini dilontarkan oleh caketum PSSI lainnya, Vijaya Fitriyasa, dalam program televisi Catatan Najwa, Rabu (30/10/2019). Tudingan itu juga berujung pelaporan Vijaya ke kepolisian atas dugaan ujaran kebencian.

Ini menjadi penting lantaran publik sedang sangat sensitif mengenai isu-isu berbau mafia dan pengaturan skor. Selain itu, Iwan harus secara terang benderang kejelasan dari perkara pengaturan skor pada tampuk kekuasaan sebelumnya. Yang mana kita tahu kasus tersebut sudah melibatkan para pemain, wasit, hingga exco PSSI sendiri.

Lalu ia berani menanggalkan jabatannya sebagai Sekretaris Umum Lemhanas demi fokus mengurus PSSI dan persepakbolaan nasional.

Selanjutnya membuktikan kriteria ketua umum yang ideal bagi PSSI. Juli lalu wadah pemikir (think-tank) manajemen dan kebijakan olahraga pertama di Indonesia, Ganesport Institute, mengeluarkan hasil studi mengenai kriteria ideal Ketum PSSI.

Ganesport mengirim survei kepada para ahli dan praktisi tata kelola olah raga di seluruh dunia. Studi tersebut mendapat respons sebanyak 23 responden dari Eropa, Amerika, Asia, Oseania, dan termasuk juga Indonesia.

Hasil studi menunjukkan bahwa seorang ketua umum federasi sepakbola harus memiliki atribut tertentu yang dianggap efektif mengakomodir berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), dalam hal ini sebagai Ketum PSSI. Antara lain independen, sangat senior dalam dunia sepak bola, berintegritas, jauh dari kepentingan politik, teruji skill kepemimpinan juga manajerialnya, paham sepak bola, dan cakap berdiplomasi.

Untuk poin “senior dalam dunia sepak bola” dan “paham sepak bola Iwan” tidak sulit menggambarkan dirinya sebagai mafhum akan hhal tersebut. Namun poin “jauh dari politik”, adalah tugas berat Iwan lainnya.

Dituntutnya Iwan untuk memenuhi kriteria ideal itu bukan tanpa alasan. Studi Ganesport pada tahun sebelumnya, menyimpulkan bahwa krisis PSSI dalam 10 tahun terakhir terjadi disebabkan adanya mismatch antara ekspektasi publik dan PSSI. Publik ingin–dan kerap mendesak–adanya keterbukaan dari federasi, sedangkan federasi selalu menganggap organisasi seperti PSSI tidak harus akuntabel kepada khalayak umum.

‘Piring kotor’ selanjutnya adalah antarsuporter yang dari tahun ke tahun selalu menjadi polemik. Terkait ini, Iwan ingin membentuk divisi khusus di PSSI yang menangani suporter.

Meski belum jelas bagaimana divisi ini akan bekerja serta mekanismenya berjalan, langkah Iwan patut diapresiasi.

Rekomendasi selanjutnya adalah pembinaan usia dini. Tak ada negara dan klub mana pun dari belahan dunia yang tidak melakukan ini. Artinya, ini harus dan segera dilakukan oleh PSSI.

Terakhir, kepemimpinan PSSI di bawah tangan Iwan sekarang harus bisa membuka seluas-luasnya industri sepak bola Indonesia yang sehat ke depannya. Mengapa begitu?

Rekomendasi terakhir saya akan jelaskan lebih panjang. Begini:


Sepak bola tengah dan akan terus berkembang sekaligus menempati dirinya sebagai cabang olah raga yang pamornya kian melambung. Sehingga memaknai sepak bola sebagai olahraga saja saat ini tidaklah cukup.

Sepak bola kini memunculkan perspektif baru: industri dan bisnis–negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara maupun Asia Selatan sudah mafhum akan hal itu.

Maka tak heran bila sepak bola kerap dijadikan wadah aktivitas sports marketing atau brand activation oleh berbagai produsen. Dan itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mengelola klub secara mandiri dan profesional, terutama klub-klub di liga Indonesia.

Perusahaan konsultan manajemen Deloitte setiap tahun membuat daftar peringkat klub-klub terkaya di dunia-–dengan akumulasi pendapatan kotor dari berbagai sektor. Daftar itu diberi judul “Football Money League”.

Di tahun 2009 Real Madrid menjadi klub terkaya seantero bumi dengan pendapatan kotor mencapai 475 juta USD, disusul Manchester United dengan nilai 422 juta USD. Pencapaian ini bertahan hingga tiga tahun kemudian dengan nilai pendapatan yang bertambah pula, Real dengan 540,7 juta USD dan Manchester United dengan nilai 440,3 juta USD.

Namun di 2016 Manchester United sukses menggeser singgasana Madrid sebagai pemuncak daftar tim dengan pendapatan terbesar di dunia versi Deloitte ini.

Kekayaan Setan Merah mencapai 826,6 juta USD. Tim terkaya selanjutnya ditempati Barcelona dengan kekayaan 744 juta USD dan urutan ketiga diisi Real Madrid yang hanya terpaut tipis dari kekayaan rival abadinya itu, yakni senilai 743,9 juta USD.

Dari besarnya pendapatan tim-tim tadi, Manchester misalnya, pemasukan terbesar disumbang bukan dari penjualan tiket atau hak siar televisi, melainkan dari sisi komersial, yakni sebesar 53 persen. Kemudian baru diikuti pemasukan dari hak siar sebesar 27 persen dan tiket pertandingan sebesar 20 persen.

Artinya, di era industri saat ini pendapatan melalui hak siar maupun penjualan tiket, bila dibandingkan sisi komersial, tidaklah seberapa.

Besarnya sisi komersial dalam menyumbang pendapatan Manchester tak lepas dari mereka yang memanfaatkan brand untuk membangun citra positif dan mendunia. Manchester United (lagi dan lagi) adalah contoh paling sahih dalam soal ini.

Klub yang dulu bernama Newton Heath Lancashire & Yorkshire ini tidak hanya mentereng dalam urusan gelar juara dan pemain top kaliber David Beckham dan rekan-rekannya. Lebih dari itu, Setan Merah adalah “ambassador” dari Kota Manchester. Saking mendunianya, Manchester United melebihi pamor Kota Manchester itu sendiri-–bahkan lebih terkenal ketimbang London, ibukota Inggris.

Buah manisnya adalah sejumlah produsen, termasuk aparel, berebut dan berani membayar berapapun mahal harganya demi terpampangnya nama atau logo mereka produsen tersebit di kostum kebanggaan milik publik Old Trafford itu.

Buktinya, melalui Manchester, kita mengenal Sharp, Vodafone, Chevrolet atau Adidas saat seperti dikenakan saat ini. Belum lagi kemilaunya Liga Inggris sejak bertransformasi sebagai liga modern sejak awal 2000 menjadi credit tersendiri bagi Manchester United.

Gemerlapnya persepakbolaan Inggris-–meski belum diikuti prestasi tim nasionalnya–-turut menggoda taipan asal Russia, Roman Abrahamovich, menghidupkan tim ibukota, Chelsea, guna menyaingi kedigdayaan MU-–juga Arsenal dan Liverpool.

Abrahamovich dengan enteng membeli Si Biru sebesar 59,3 paun per lembar sahamnya pada Juli 2003 lalu. Ia juga melunasi utang-utang yang ditaksir mencapai 80 juta paun dan mengucurkan dana segar untuk mendapatkan pemain-pemain kelas wahid ke Stamfor Bridge. Dengan begitu Chelsea siap untuk lebih besar lagi.

Chelsea, kini, bukan sekadar tim sepak bola, melainkan sebuah brand sehingga mampu-–seperti Manchester United–-menyedot berbagai perusahaan di manapun untuk memajang nama dan logo mereka di jersi kebanggan klub publik London itu. Produsen teknologi paling mahsyur, Samsung, misalnya.

Cara-cara seperti itulah yang digunakan banyak tim-tim Eropa mencari pemasukan mandiri dan profesional. Dan itu, sebenarnya, bisa diadaptasi oleh klub-klub di Liga Indonesia: aktivitas sports marketing dengan memanfaatkan brand activation para produsen.

Brand activation sendiri merupakan brand activation adalah interaksi pemasaran antara konsumen dan brand agar konsumen dapat memahami sebuah brand dengan lebih baik yang berujung diterimanya sebuah brand oleh konsumen sekaligus menjadi bagian kehidupan dari konsumen tersebut (Alberts: 2011).

Sementara Delamar (2000), mengemukakan sebuah perusahaan atau produsen mesti mendengarkan para konsumennya dan memandang serta memahami bahwa konsumennya adalah konsumen yang unik dengan kebutuhan khusus.

Merujuk dari kedua itu, artinya sepak bola dan brand activation bisa menjadi bersimbiosis mutualisme.

Di Indonesia, klub-klub sepak bolanya melaju berkembang dan fanatik para fannya membuat warna tersendiri bagi persepakbolaan Indonesia. Ini terjadi lantaran sepak bola Indonesia sekarang tengah menjadi “hedonisme” baru bagi beberapa kalangan.

Terbukti, stadion sepak bola hampir selalu dipadati pecinta sepak bola tanah air. Coba perhatikan, bagaimana The Jakmania selalu memadati Stadion Gelora Bung Karno, Bonek di Stadion Gelora Sepuluh 10 Nopember, atau Viking di Stadion Si Jalak Harupat dan Stadion Siliwangi. Mereka tak pernah absen sekalipun.

Meski kerap diterpa isu-isu tak sedap semisal kerusuhan suporter dan pengaturan skor, tak lantas mengurangi pamor sepak bola Tanah Air. Bahkan besar dan fanatiknya para suporter memunculkan fakta baru, yakni urusan ekonomi.

Bila kita berkunjung ke sebuah kota, katakanlah, Bandung, Malang, atau Surabaya kita tak hanya membeli makanan khas kota tersebut, melainkan juga jersi, syal, bendera, atau pernak-pernik yang identik dengan klub dari kota tersebut. Itu menandakan berkembangnya aktivitas ekonomi mikro dari sepak bola. Ditambah lagi, toko-toko marchandise di sekitar stadion kini makin jamak ditemui.

Contoh lainnya seperti pernah dilakukan manajemen Persebaya Surabaya yang membuka Persebaya Store demi memperluas penjualan marchandise tim, di mana sebelumnya para fan hanya bisa mendapatkannya di Official Store.

Tak hanya itu, dibukanya Persebaya Store menjadi pertanda bahwa Persebaya melihat peluang untuk memperluas potensi datangnya pemasang iklan yang ingin melakukan brand activation, serta sadar akan pengelolaan tim secara mandiri dan profesional, terutama dari sisi komersial.

“Persebaya bertujuan menjadi klub profesional,” kata Presiden Klub Persebaya, Azrul Ananda, mengutip JawaPos.com (2017). “Bukan hanya secara tim dan operasional. Tetapi juga secara pengelolaan komersialnya. Karena untuk bisa menjadi klub yang benar-benar suistanable juga harus mengelola merchandise dengan baik.”

“Kami ingin Persebaya jadi contoh pengelolaan klub secara profesional di Indonesia. Kita untuk bisa dekat dengan fans, bisa lebih memuaskan kebutuhan para penggemar. Dan lebih penting lagi untuk bisa membuat finasial tim lebih suistanable maka harus mampu mengelola merchandise atau komersial secara profesional,” imbuhnya.

Melalui peristiwa-peristiwa tadi, kita bisa melihat adanya potensi klub-klub sepak bola di Indonesia untuk dijadikan brand activation oleh para produsen dari berbagai merek.‎

Dampak positif lainnya, karena sebuah klub adalah representasi sebuah kota, karenanya klub sepak bola sebenarnya mampu mengangkat citra dari sebuah kota yang diwakilinya itu, sekaligus meningkatkan potensi usaha ekonomi mikro bagi tiap masyarakat di kotanya.

Apabila klub-klub di Indonesia sudah sadar untuk menjadi wadah brand activation para produsen, paling tidak, para klub layak dikatakan sudah memiliki visi untuk mengelola tim secara mandiri dan profesional.

Dengan begitu ini jauh lebih baik ketimbang mereka menggunakan dan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sempat mewarnai klub-klub di Indonesia pada beberapa waktu silam. Selain tidak mandiri, bahkan jauh dari kata profesional, menggunakan APBD pada hakikatnya menyalahi statuta FIFA.


Kendati begitu, rekomendasi terkahir tadi tak akan bisa tercapai, kalau rekomendasi-rekomendasi sebelumnya tak diselesaikan.

Namun apabila bisa tercapai, artinya Iwan dapat menjawab bahwa kepemimpinannya dapat dipercaya sekaligus membuktikan kalau dipilihnya ia menjadi Ketum PSSI adalah kemenangan insan sepak bola.

Leave a comment